SEJARAHSINGKAT IMAM AN-NAWAWI . Prof. DR. H. Utang Ranuwijaya, MA. (Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten) A. Nama dan Kunyahnya kitabFath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari karena melakukan istighatsah di makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu. Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin dalam fatwanya, menganggap al-Imam al-Nawawi dan al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani bukan pengikut Ahlussunnah. Penguasadi saat itu, 'Izzuddin Muhammad bin Sha'igh bersama para jajarannya datang ke makam Imam Nawawi di Nawa untuk menshalatkannya. Dalam kitabnya Syarh al-Muhadzdzab beliau menulis pesan bahwa keutamaan ilmu itu untuk para penuntut ilmu yang mencarinya karena ridha Allah. View PROGRAM 1 at Indonesian Computer University. IMAM AN-NAWAWI: ULAMA BESAR YANG MENCINTAI ILMU Oleh: Wahidatul Wafa Imam An-Nawawi adalah seorang ulama besar di Semasaitu, bandar Kobe juga tidak ketinggalan menerima akibatnya. Boleh dikata Kobe menjadi padang jarak padang terkukur. Ketika bangunan di sekitarnya musnah sama sekali, Masjid Muslim Kobe tetap berdiri tegak. Masjid ini hanya mengalami keretakan pada dinding luar dan semua kaca tingkapnya pecah. Bahagian luar masjid. KuburImam Nawawi Rahimahullah di bom oleh Golongan Wahabi. Akibat benci kepada penziarah kubur sampai menggelarkan mereka dengan penyembah kubur/kuburiyyun akhirnya amarah wahabi memuncak sampai . Imam Nawawi beri peringatan kepada peziarah makam Nabi Muhammad SAW. Ilustrasi makam Nabi Muhammad SAW JAKARTA— Secara umum, ziarah kubur merupakan sunNah dan dianjurkan dengan tujuan untuk mengingat akhirat serta kematian. Selain itu, ziarah kubur dilakukan untuk mendoakan penghuni kubur. Keumuman hukum ziarah kubur ini juga berlaku ketika ziarah kubur ke makam Nabi. Akan tetapi, ziarah kubur nabi akan menjadi cacat tatkala orang yang berziarah kubur ke makam Nabi melakukan sejumlah hal yang kurang pantas. Beberapa di antaranya adalah mengusapkan tangan dan mencium makam. Hal ini sebagaimana disampaikan antara lain salah satu ulama Mazhab Syafii, yaitu Imam An-Nawawi dalam Syarh Al-Majmu Syarh Al-Muhazab. Imam An-Nawawi berkata لَا يَجُوزُ أَنْ يُطَافَ بِقَبْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُكْرَهُ إلْصَاقُ الظُّهْرِ وَالْبَطْنِ بِجِدَارِ الْقَبْرِ قَالَهُ أَبُو عُبَيْدِ اللَّهِ الْحَلِيمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالُوا وَيُكْرَهُ مَسْحُهُ بِالْيَدِ وَتَقْبِيلُهُ بَلْ الْأَدَبُ أَنْ يَبْعُدَ مِنْهُ كَمَا يَبْعُدُ مِنْهُ لَوْ حَضَرَهُ فِي حَيَاتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا هُوَ الصَّوَابُ الَّذِي قَالَهُ الْعُلَمَاءُ وَأَطْبَقُوا عَلَيْهِ ولاَ يُغْتَرَّ بِمخالفةِ كثيرينِ من العوام وفعلِهم ذلك، فإنَّ الاقتداءَ والعملَ إنَّما يكون بالأحاديثِ وأقوال العلماءِ، ولا يُلتفت إلى مُحدَثَات العوام وغيرِهم وجَهالاَتِهم، وقد ثبتَ في الصحيحين عن عائشة رضي الله عنها أنَّ رسول الله  قال مَن أحدَثَ في دِينِنا هذا ما لَيس منه فهو ردٌّ ، وفي رواية لمسلم مَن عمِلَ عَمَلاً ليس عليه أمرُنا فهو ردٌّ ، وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تَجعَلوا قَبْرِي عيداً، وصلُّوا عليَّ، فإنَّ صلاتَكم تَبلُغُنِي حَيثمَا كنتم ، رواه أبو داود بإسنادٍ صحيح، وقال الفضـيلُ بنُ عِياض رحمه الله ما معناه اتَّبِعْ طُرُقَ الهُدى ولا يَضُرَّكَ قِلَّةُ السَّالكين، وإيّاك وطُرُقَ الضَّلالَةِ ولا تَغْتَرَّ بكَثرةِ الهالكين ، ومَن خَطَرَ ببالِه أنَّ المسحَ باليد ونحوِه أبلغُ في البَركَةِ، فهو من جهالَتِه وغفلَتِه؛ لأنَّ البَرَكةَ إنَّما هي فيما وافقَ الشَّرعَ، وكيف يُبتغَى الفضلُ في مخالَفَةِ الصوابِ، "Tidak boleh tawaf di makam Nabi ﷺ, dan dibenci menempelkan perut dan punggung di dinding kuburan. Hal ini telah dikatakan al-Halimy dan lairmya. Dan dibenci mengusap makam dengan tangan dan dibenci mencium makam. Bahkan, adab ziarah makam Nabi adalah menjauh dari Nabi sebagaimana ia menjauh dari Nabi kalau bertemu Nabi ﷺ tatkala masih hidup. Dan inilah yang benar, dan inilah perkataan para ulama, dan mereka telah sepakat akan hal ini. Dan hendaknya jangan teperdaya oleh banyaknya orang awam yang menyelisihi hal ini karena teladan dan amalan itu dengan perkataan para ulama. Jangan berpaling pada perbuatan-perbuatan baru yang dilakukan oleh orang-orang awam dan kebodohan-kebodohan mereka. Sungguh mulia Abu Ali al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah telah berbuat baik dalam perkataannya "Ikutilah jalan petunjuk dan tidak masalah jika jumlah pengikutnya yang sedikit. Berhati-hatilah akan jalan kesesatan dan jangan teperdaya oleh banyaknya orang yang binasa karena mengikuti jalan kesesatan". Barangsiapa yang terbetik di benaknya bahwasanya mengusap kuburan dengan tangan dan perbuatan yang semisalnya lebih berkah, hal ini karena kebodohan dan kelalaiannya karena keberkahan itu mengikuti syariat dan perkataan para ulama. Bagaimana mungkin keutamaan bisa diraih dengan menyelisihi kebenaran?" Imam Besar Masjidil Haram asal Banten,Syekh Nawawi al-Bantani. Foto Istimewa/ Jakarta - Indonesia terkini adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di Indonesia. Tak aneh pula jika kuota haji Indonesia juga besar, mencapai 200 ribu lebih per musim haji. Kenapa di Sumatera Barat Tidak Ada Habib? Buya Arrazy Ungkap Alasannya Rugikan Jemaah Haji, Kemenag Protes Keras Saudia Airlines Pesawat Garuda dan Saudia Airlines Kerap Terlambat dan Ubah Jadwal, Ada Apa? Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Islam telah mengakar dalam tiap sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Di Indonesia juga terdapat pusat-pusat pendidikan keagamaan, seperti pesantren. Dari rahim pesantren, lahir para cendekia muslim, alim ulama, dai, dan pemuka agama lainnya. Bahkan, kealiman ulama asal Indonesia juga sudah dikenal zaman dulu, termasuk di negara tempat pertama kalinya Nabi Muhammad SAW menyebarkan agama Islam, Makkah, Arab Saudi. Terbukti, setidaknya ada tiga ulama Indonesia yang menjadi imam Masjidil Haram, sebuah masjid bersejarah yang juga menjadi salah situs terpenting bagi umat Islam. Menurut buku 25 Masjid Beribu Kisah via ada tiga ulama Indonesia yang pernah menjadi imam besar Masjidil Haram. Mereka adalah Simak Video Pilihan IniViral! Garis Marka Lampu Merah Mirip Starting Grid Balap Motor di Kebumen1. Syeikh Junaid Al BatawiPandangan udara saat Umat Muslim melaksanakan salat menghadap Kakbah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, Kamis 16/8. Jutaan umat Islam dari berbagai negara semakin memadati Masjidil Haram menjelang puncak pelaksanaan ibadah haji. AP Photo/Dar YasinSyeikh Junaid Al Batawi ini lahir di Pekojan, Jakarta Barat. Beliau dikenal sebagai seorang pendidik yang tangguh. Hingga akhir hayatnya dihabiskan untuk mengajar. Syeikh Junaid dikenal sebagai syeikhul masyayikh madzhab Syafii. Di antara muridnya yang kemudian masyhur adalah Iman Nawawi Al Bantani. Syeikh Junaid Al-Batawi wafat di Makkah pada tahun 1840. Saat itu, beliau diperkirakan berusia 100-an Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-BantaniSyekh Nawawi al-Bantani, ulama asal Indonesia yang menjadi imam dan pengajar di Masjidil Haram, Makkah. Foto Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani atau Syekh Nawawi Al Bantani dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815. Namanya masyhur hingga sekarang dengan karyanya yang banyak. Di Mekah, beliau kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya selama kurang lebih 30 tahun. Semakin hari semakin masyurlah hasil pemikiran Syeikh Muhammad Nawawi. Beliau juga menulis banyak kitab berbahasa Arab dan jadi rujukan khususnya dalam ilmu fiqih, di seluruh dunia. Ketika menetap di Syi’ib Ali, Mekah, Syeikh Muhammad Nawawi memiliki murid yang banyak dan berasal dari berbagai bangsa. Namanya kemudian tersohor sebagai Syaikh Nawawi al-Jawi al-Bantani. Puncaknya, ketika beliau ditunjuk sebagai pengganti imam Masjidil Haram. Syeikh Nawawi meninggal di Makkah pada 1897. Beliau adalah guru ulama-ulama pesantren di Indonesia. Salah satu keturunannya saat ini menjadi Wakil Presiden yakni KH Ma’ruf Amin yang juga pernah menjabat Rais Aam PBNU. 3. Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-MinangkabawiSyaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Rahimahullah Via Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi juga dikenal dengan nama Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Beliau lahir di Sumatera Barat, tepatnya di Koto Tuo, Agam pada 26 Juni 1860. Kecerdasan beliau sudah terlihat sejak kanak-kanak. Ayahnya Syaikh Abdul Latif mengajaknya ke Mekah pada usia 11 tahun 1871 untuk menunaikan ibadah haji. Namun Ahmad tidak ikut pulang, ia tinggal di Mekah untuk menuntaskan hafalan Alqurannya. Selain menghafal Alquran, Ahmad berguru dengan beberapa ulama di antaranya Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy. Kealiman Syeikh Ahmad Khatib dibuktikan ketika ia diangkat menjadi imam dan khatib sekaligus staf pengajar di Masjidil Haram. Syeikh Ahmad Khatib mempunyai banyak murid yang kemudian menjadi ulama-ulama besar, di antaranya Abdul Karim Amrullah Haji Rasul ayah dari Buya Hamka, ulama termasyhur Indonesia. Lalu ada Hasyim Asy’ari pendiri NU, dan Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, serta masih banyak lagi. Tim Rembulan* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan. Son nom et sa généalogie Il s’agit du noble savant, l’Imâm, le Sheikh de l’Islam, l’appeleur à Dieu, l’Argument, un des piliers de l’Ecole Juridique Shaféite, Sayyidî Muhyiddîn, Abû Zakariyyâ, Yahyâ Ibn Sharaf Ibn Marrî Ibn Hasan Ibn Husayn Ibn Hizâm Ibn Muhammad Ibn Jumu`ah An-Nawawî, que Dieu l’agrée. Son enfance Il naquit en 631 dans le village de Nawâ — un village affilié à Damas en Syrie. Il apprit le Coran dans son enfance et se forma dans diverses sciences islamiques comme le Hadîth, la Langue Arabe et le Fiqh. Doté d’une excellente mémoire, l’Imâm An-Nawawî se dépensait dans l’apprentissage des sciences religieuses et assistait quotidiennement à près de douze cours traitant de diverses branches des sciences islamiques. Les signes de l’excellence et la piété apparurent en lui dès son enfance. Son père raconte que la veille du 27e jour de Ramadan en l’an 638 le jeûne An-Nawawî, alors âgé de sept ans, dormait auprès de lui. Il se réveilla et s’exclama mon père ! quelle est cette lumière qui emplit la maison ?! ». Son père dit Nous nous sommes réveillés et ne vîmes aucune lumière. Nous avons alors su qu’il s’agissait de Laylat Al-Qadr La Nuit du Destin ». Sheikh Yâsîn Ibn Yûsuf Al-Marrâkishî raconte “J’ai vu le Sheikh [ An-Nawawî] à Nawâ alors qu’il n’avait que dix ans. Les enfants essayaient de le forcer à jouer avec eux, mais il fuyait en récitant le Coran et pleurait de leur comportement. Son amour s’installa alors dans mon cœur. Son père le fit travailler dans une petite boutique, mais les ventes et les achats ne le distrayaient guère de la récitation du Coran. Je partis voir celui qui lui enseignait le Coran et lui recommandai de lui porter des soins particuliers. Je lui dis Il est à espérer que ce garçon devienne le plus savant des gens de son temps et le plus versé dans l’ascétisme parmi eux, et il est à espérer que les gens bénéficient de son savoir ». Tu prédis l’avenir ?! » m’a-t-il répondu. Non, dis-je, mais Dieu m’a fait dire cela ».”. L’enseignant de Sheikh An-Nawawî rapporta cela à son père qui lui accorda beaucoup de soins, si bien que l’Imâm An-Nawawî termina l’apprentissage du Coran vers sa puberté. Ses Sheikhs Nous ne dresserons pas ici une liste exhaustive des Sheikhs et professeurs de l’Imâm An-Nawawî, tant ils sont nombreux. Nous citerons pour les diverses disciplines islamiques les principaux enseignants qui formèrent l’Imâm An-Nawawî. 1- En Fiqh jurisprudence islamique Son premier Sheikh en Fiqh fut l’ascète, le juriste shaféite, Abû Ibrâhîm Ishâq Ibn Ahmad Ibn Othmân Al-Maghribî Al-Maqdisî. Puis il s’initia auprès de son Sheikh, l’Imâm, le dévot, le Mufti de Damas à l’époque, Abû Muhammad Abd Ar-Rahmân Ibn Nûh Ibn Muhammad Ibn Ibrâhîm Ibn Mûsâ Al-Maqdisî Ad-Dimashqî. Ensuite, il eut comme professeur, l’Imâm, le Mufti, Abû Hafs `Omar Ibn As`ad Ibn Ghâlib Al-Irbîlî. Citons également parmi ses Sheikhs en Fiqh, l’Imâm Abû Al-Hasan Ibn Al-Hasan Al-Irbîlî Al-Halabî Ad-Dimashqî. 2- Dans la voie du Tasawwuf At-Tarîq L’Imâm As-Sakhâwî dit “As-Subkî a dit dans At-Tabaqât Al-Kubrâ que son Sheikh dans la voie est Sheikh Yâsîn Al-Marrâkishî. En témoigne la parole d’Adh-Dhahabî que nous avons déjà mentionnée Sheikh An-Nawawî partait le voir, s’éduqait en sa compagnie et lui rendait visite. Il espérait sa bénédiction et le consultait dans ses affaires.” 3- Dans les lectionnaires coraniques Al-Qirâ’ât Al-Lakhmî affirma que l’Imâm An-Nawawî connaissait le Coran avec les sept lectionnaires. Toutefois, il n’a pas mentionné ses enseignants dans cette discipline. Il se peut qu’il les ait appris auprès de son Sheikh, l’Imâm Abû Shâmah — qui dirigea Dar Al-Hadîth Al-Ashrafiyyah à Damas avant l’Imâm An-Nawawî [1]. 4- En Hadîth Il étudia Sahîh Muslim et la majeure partie de Sahîh Al-Bukhârî auprès de son Sheikh, Abû Ishâq Ibrâhîm Ibn `Îsâ Al-Murâdî Al-Andalusî Ash-Shâfi`î. Il étudia Al-Kamâl fî Asmâ’ Ar-Rijâl [2] auprès du mémorisateur du Hadîth, Sheikh Az-Zayn Abû Al-Baqâ’ Khâlid Ibn Yûsuf Ibn Sa`d An-Nâbulsî. Il accompagna également le savant du Hadîth, l’Imâm Ad-Diyâ’ Ibn Tammâm Al-Hanafî et profita de son savoir. Il écouta le Hadîth enseigné par un certain nombre de savants dont Abû Ishâq Ibrâhîm Ibn `Alî Ibn Ahmad Ibn Fadl Al-Wâsitî. Abû Al-`Abbâs Ahmad Ibn `Abd Ad-Dâ’im Al-Maqdisî Abû Muhammad Ismâ’îl Ibn Ibrâhîm Ibn Âbî Al-Yusr At-Tanûkhî Abû Muhammad `Abd Ar-Rahmân Ibn Sâlim Ibn Yahyâ Al-Anbârî As-Shams Abû Al-Faraj `Abd Ar-Rahmân Ibn Abî `Omar Muhammad Ibn Ahmad Ibn Qudâmah Al-Maqdisî — l’un de ses plus grands Sheikhs. Le Sheikh des Sheikhs Shaykh Ash-Shuyûkh Ash-Sharaf Abû Muhammad `Abd Al-`Azîz Ibn Abî `Abd Allâh Muhammad Ibn `Abd Al-Muhsin Al-Ansârî Le juge `Imâd Ad-Dîn Abû Al-Fadâ’il `Abd Al-Karîm Ibn `Abd As-Samad Ibn Al-Horastânî. 5- En grammaire et langue arabe Parmi ses Sheikhs dans cette discipline citons Al-Fakhr Al-Mâlikî, Sheikh Abû Al-`Abbâs Ahmad Ibn Sâlim Al-Misrî et Sheikh Al-Jamâl Abû Abd Allâh Muhammad Ibn Abd Allâh Ibn Mâlik Al-Jiyânî. 6- En Usûl Al-Fiqh Fondements de la Jurisprudence Islamique Il étudia une partie d’Al-Muntakhab [3] et Al-Mustasfâ [4] auprès du juge, le juriste shaféite, Abû Al-Fath `Omar Ibn Bundâr Ibn `Omar Ibn `Alî At-Taflîsî. L’Imâm As-Sakhâwî dit “Il étudia également la majeure partie de Mukhtasar Ibn Al-Hâjib auprès du Grand Juge de Damas, Al-`Izz Abû Al-Mafâkhir Muhammad Ibn Abd Al-Qâdir Ibn Abd Al-Khâliq Ibn As-Sâ’igh”. Ses ouvrages Sayyidî l’Imâm An-Nawawî ne se maria pas et n’eut par conséquent aucune descendance. Mais ses meilleurs héritiers sont certainement ses remarquables ouvrages. – Il composa un précieux commentaire de Sahîh Muslim. Il commenta également une partie de Sahîh Al-Bukhârî ; il s’arrêta à Kitâb Al-`Ilm Le Livre du Savoir, et intitula son commentaire At-Talkhîs. Il commença aussi un commentaire de Sunan Abî Dâwûd. L’Imâm As-Sakhâwî dit “Il arriva à la partie traitant des ablutions et intitula son commentaire Al-Îjâz. J’ai entendu dire que l’ascète de son temps, Ash-Shihâb Ibn Raslân, a repris intégralement cet écrit de l’Imâm An-Nawawî au début de son propre commentaire de Sunan Abî Dâwûd, et ce en guise de tabarruk [5]”. – Il écrivit également deux valeureux ouvrages répandus parmi les musulmans et les étudiants en sciences islamiques Al-Adhkâr et Riyâd As-Sâlihîn. – On lui doit aussi Al-Arba`în An-Nawawiyyah, qu’il acheva 668 – Il aborda l’éthique des mémorisateurs du Noble Coran dans son ouvrage At-Tibyân fî Âdâb Hamalat Al-Qur’ân. L’Imâm As-Sakhâwî témoigna de l’importance de ce ouvrage en disant “C’est un livre précieux dont on ne peut se passer, surtout les récitateurs et les enseignants de la récitation coranique”. – Il composa aussi At-Tarkhîs fil-Ikrâm wal-Qiyâm. L’Imâm As-Sakhâwî dit “C’est un ouvrage pour les gens de vertus et leurs semblables”. – Il écrivit dans de domaine de l’ascétisme et du soufisme Bustân Al-`Ârifîn Le Jardin des Gnostiques. – On lui doit aussi, entre autres Rawdat At-Tâlibîn, Al-Minhâj, Al-Manâsik fil-Fiqh, Al-Fatâwâ An-Nawawiyyah, Tabaqât Al-Fuqahâ’, Tahdhîb Al-Asmâ’ wal-Lughât, Tashîh At-Tanbîh, At-Tahqîq, Ru’ûs Al-Masâ’il wa Tuhfat Ashâb Al-Fadâ’il. Ses qualités et ses mérites L’Imâm An-Nawawî chemina sur la voie de la piété et les sentiers du scrupule et de la dévotion qui caractérisaient l’époque des Compagnons du Messager de Dieu. Le gnostique Abû Abd Ar-Rahîm Al-Akhmîmî dit de lui “Il cheminait sur la voie des Compagnons, que Dieu les agrée. Je ne connais nul autre de son époque qui cheminait sur leur voie”. Sheikh Ibn Al-`Attâr et l’Imâm As-Sakhâwî citèrent les témoignages de divers savants et gnostiques affirmant que l’Imâm An-Nawawî atteignit le rang de Pôle Qutb — sommité parmi les walîs les alliés à Dieu — de son temps. At-Taqiyy Muhammad Ibn Al-Hasan dit “De nombreux prodiges karamât furent rapportés de lui. Entre autres […] l’ouverture de portes fermées par un cadenas et la refermeture de la porte, la scission d’un mur et la sortie d’un homme d’une belle apparence — ils échangèrent tous deux des propos sur la vie de l’ici-bas et celle de l’Au-delà -, sa réunion avec des walîs occultés, et son dévoilement de pensées secrètes des autres […].” Il fut connu pour son ascétisme, la simplicité de ses habits — il s’habillait en coton et portait un turban — et la modestie de son habitat. Il avait un seul repas par jour qu’il consommait le soir avant de s’adonner aux œuvres de dévotion et la composition d’ouvrages islamiques. Sheikh Abû Al-`Abbâs Ibn Farûkh dit de lui “Il a réuni trois degrés, chacun d’eux aurait suffi pour que les gens viennent de loin pour le voir et apprendre de lui le degré du savoir, le degré de l’ascétisme et le dégré de l’appel au bien et de l’interdiction du blâmable”. Outre sa dévotion et son ascétisme, l’Imâm An-Nawawî était un homme patient, n’hésitant pas à appeler aux vertus et à réprimander les vices et le mal. Distingué par sa dignité et sa science, il agissait sans crainte aucune de la réaction des Sultans ou des hommes influents. L’Imâm Ibn As-Subkî dit de lui “Il fut un maître et un chaste. Il fut aussi un ascète. Peu lui importait que sa vie ici-bas devienne une ruine, tant que sa religion était florissante. Il était distingué par son ascétisme et son contentement de ce que Dieu lui accorde. Il marchait sur les pas des pieux prédécesseurs de Ahl As-Sunnah wa Al-Jamâ`ah. Dévoué et patient dans les voies du bien, il ne perdait pas un instant dans des œuvres n’impliquant pas l’obéissance à Dieu”. En 665 il commença à enseigner à Dâr Al-Hadîth Al-Ashrafiyyah, à Damas. Il refusa d’être rémunéré pour l’enseignement qu’il dispense et accomplit le pèlerinage deux fois dans sa vie. À la fin de sa vie, il séjourna dans son village, Nawâ. Certains pieux lui ordonnèrent de visiter Al-Quds Jérusalem et Al-Khalîl. Il le fit puis retourna à son village natal chez ses parents. Il fut atteint d’une maladie et son âme retourna à Dieu au cours du mois de Rajab, en l’an 676 Il fut enterré dans son village. Puisse Dieu l’agréer et puisse-t-Il déverser sur sa tombe les signes de Sa Miséricorde. article se base exclusivement sur Tuhfat At-Tâlibîn fî Tarjamat Al-Imâm An-Nawawî, par son élève dévoué, Sheikh Ibn Al-`Attâr et Al-Manhal Al-`Adhb Ar-Rawî fî Tarjamat Qutb Al-Awliyâ An-Nawawî La Source d’Eau douce dans la biographie du Pôle de l’Islam An-Nawawî, par Sheikh Al-Islâm Shams Ad-Dîn As-Sakhâwî. Notes [1] Il est à noter que l’Imâm An-Nawawî ne fut pas cité dans les livres biographiques traitant des mémorisateurs des lectionnaires coraniques ni l’Imâm Adh-Dhahabî, ni Ibn Al-Jazrî, ni les savants qui ont vécu entre eux ne l’ont cité.[2] écrit par le Hâfidh, `Abd Al-Ghanî Al-Maqdisî.[3] écrit par l’Imâm, l’exégète, Fakhr Ad-Dîn Ar-Râzî.[4] écrit par l’Imâm, l’Argument de l’Islam, Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâlî.[5] Le tabarruk, c’est le fait de rechercher le bénédiction. Sheikh Ash-Shihâb Ibn Raslân portait une grande estime pour l’Imâm An-Nawawî et considérait que reprendre son écrit et le joindre à son propre ouvrage était une cause de bénédiction divine. Source – Siapa yang tidak kenal intelektual Islam abad ke-13 Masehi yang sangat dihormati dan karya jasanya sangat bermanfaat bagi umat Muslim diseluruh dunia hingga saat ini. Beliau wafat pada 24 Rajab 676 H dan di makamkan Nawa Provinsi Deraa, Suriah dekat perbatasan Yordania saat ini. dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi. DONASI SEKARANG Namun sayang beribu sayang, jika anda mungkin belum tahu, makam ulama fiqih ternama ini pernah di bom oleh sekelompok yang mengakku Jihadis pada tanggal 8 Januari 2015 lalu. Dikutip dari kantor berita lokal wilayah Nawa merilis video berdurasi 0103 menit yang berisi rilis pendek puing-puing makam Imam Nawawi setelah diledakkan oleh sekawanan orang tak dikenal, sehingga menambahkan komentar dalam video tersebut. Namun, Aljazira melaporkan bahwa pelakukanya adalah Jabhah Nusrah JN. Pejuang al-Nusra menganggap penghormatan pada makam Imam Nawawi tersebut sama dengan menyembah berhala. Mereka menyamakan aksi mereka dengan penghancuran kuil berhala. Mereka menanam bahan peledak tepat di tengah-tengah makam Imam Nawawi. Suara ledakan bom ini dikeluarkan hingga seluruh penjuru kota Nawa. Sebelum meledakkan makam Imam Nawawi ini, Jabhah Nusrah yang berafiliasi kepada sekte Wahabi ini juga pernah meledakkan makam bagi sahabat Nabi Muhammad SAW., Ammar bin Yaser, yang juga terhubung di Suriah. Setelah meledakkan kuburan-kuburan yang mereka anggap sebagai pusat syirik dan menyembah berhala, biasanya mereka tertawa terbahak-bahak sambil meneriakkan kalimat takbir, Allahu Akbar. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan Kementerian Wakaf Islam Suriah, PBB mengatakan 290 situs di seluruh negeri telah terkena dampak langsung pertempuran. Sebanyak 24 situs hancur, 104 rusak berat, 85 rusak sedang dan 77 kemungkinan rusak. Biografi Singkat Imam an Nawawi Hampir 4 tahun lebih ia makan roti kering dan minum air putih, tidak ada waktu untuk memasak masakan enak, karena sibuk belajar. Buah-buahan yang banyak tersedia di pasar-pasar Damaskus pun jarang ia makan, karena khawatir yang dia makan itu adalah buah-buahan hasil dari tanah wakaf milik umat Islam. Cerita tentang karomahnya memenuhi buku-buku yang membahas tentang karamah Ulama, antara lain disebut sebagai kompilasi menulis di malam hari, cahaya memancar dari ujung jari-jari beliau, sehingga menerangi tempat dia menulis. Dia adalah Imam Muhayiddin Abu Zakarya Yahya bin Syaraf Nawawi, yang lebih dikenal sebagai Imam Nawawi, nisbah untuk kampung dia bernama Nawa, sebuah desa di Propinsi Dar’a di selatan Damaskus. Dia lahir di Nawa 1233 M kemudian belajar, mengajar dan menulis karya-karyanya di Damaskus. Pada tahun 676 H beliau kembali ke kampung halamannya di Nawa setelah mengembalikan berbagai kitab yang dipinjamnya dari sebuah badan wakaf. Beliau juga menziarahi makam para gurunya dan bersilaturahim kepada para sahabat beliau yang masih hidup. Pada hari keberangkatan beliau ke Nawa, para jama’ah yang beliau bina melepas kepergiannya di pinggiran kota Damsyiq Damaskus. Mereka bertanya kapan mereka dapat bertemu dengan lagi. Namun Imam an-Nawawi menjawab bahwa mereka akan bertemu setelah 200 tahun. Awalnya mereka tidak mengerti perkataan sang Imam, namun akhirnya mereka faham bahwa yang dimaksud sang imam adalah setelah hari kiamat. Pada saat wafatnya, kabarnya menyebar luas hingga Damaskus. Semua orang bersedih dan kehilangan atas wafatnya sang imam. Penguasa saat itu, Izzuddin Muhammad bin Sha’igh datang dan menyolatkannya. Meskipun beliau relatif muda, pada usia yang sangat produktif, yaitu 45 tahun tetapi di kalangan ulama zamannya dia sangat terhormat, seorang ulama teladan. Beliau meninggalkan banyak karya yang luar biasa, lebih dari 20 karya besar, antara lain Syarh Sahih Muslim sekitar 12 jilid, Kitab al Majmuk Syarh Muhazzab 20 jilid, dan yang paling fenomenal menjadi Best Seller sepanjang masa adalah Riyadhus Shalihin, yang diterjemahkan ke dalam edisi berbagai bahasa dunia. Author Recent Posts Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017

makam imam nawawi di bom